Saturday, December 7, 2024

PERAN LIMFOSIT T PADA INFEKSI MALARIA

BAB I

PENDAHULUAN

 

I.1        LATAR BELAKANG

            Malaria telah menginfeksi manusia selama lebih dari 50.000 tahun, dan mungkin telah menjadi patogen pada manusia sepanjang sejarah kehidupan manusia.1 Demam periodik yang menjadi gejala khas untuk penyakit malaria sudah tertulis sejak dinasti Xia di Cina sekitar tahun 2700 SM serta dari tulisan tabib-tabib Yunani, Romawi, Asyiria, India, Arab, Eropa hingga abad ke-19, tulisan mendetail yang paling awal adalah tulisan Hipokrates dari abad kelima SM.2 Istilah malaria berasal dari bahasa Italia pada abad pertengahan: mala aria (udara buruk). Pada daerah lain di dunia penyakit ini disebut juga marsh fever (demam rawa) karena kaitannya dengan rawa-rawa.3

            Penelitian ilmiah mengenai malaria mencapai kemajuan bermakna pada tahun 1880, saat dokter tentara Perancis yang bertugas di Aljazair bernama Charles Louis Alphonse Laveran mengamati adanya parasit di dalam sel darah merah penderita malaria. Beliau kemudian mengemukakan bahwa malaria disebabkan oleh protozoa ini, itulah pertama kalinya protozoa diidentifikasi sebagai penyebab penyakit.4 Protozoa tersebut diberi nama Plasmodium oleh dua ilmuan Italia Ettore Marchiafava dan Angelo Celli.5

            Sir Ronald Ross yang bertugas di India membuktikan bahwa malaria ditularkan oleh nyamuk pada tahun 1898, dan beliau berhasil menemukan daur hidup parasit malaria pada tubuh nyamuk. Beliau membuktikan dengan menunjukkan bahwa beberapa spesies nyamuk menularkan malaria ke unggas, selain itu beliau juga mengisolasi parasit malaria dari kelenjar ludah nyamuk yang telah menghisap darah dari unggas yang terinfeksi.6

            Meskipun stadium darah dan stadium nyamuk dari daur hidup malaria sudah ditemukan pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, namun bentuk laten pada sel hati baru ditemukan pada tahun 1980an oleh Krotoski dkk. dan Meis dkk.7,8

            Malaria menyebabkan sekitar 350-500 juta infeksi pada manusia dan sekitar satu hingga tiga juta kematian per tahun di seluruh dunia. Jika prevalensi malaria terus mengalami peningkatan yang sama seperti saat ini, maka tingkat kematian akan berlipat dua dalam duapuluh tahun kedepan. Angka statistik yang tepat tidak diketahui karena banyak kasus terjadi di daerah pedesaan dimana masyarakat tidak memiliki akses ke rumah sakit atau tidak mendapat pelayanan kesehatan, akibatnya banyak kasus yang tidak terdokumentasi.3

            Malaria bisa ditemukan di lebih dari 100 negara, namun terutama terbatas pada daerah tropis dari benua Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Lebih dari 90% kasus malaria dan kebanyakan kematian akibat malaria terjadi di benua Afrika.9

            Berdasarkan database WHO tahun 2000, Indonesia menempati urutan ke-26 dengan jumlah kasus 919,8 per 100.000 orang.10 Epidemi fokal bisa ditemukan setiap tahun terutama di luar Pulau Jawa dan Bali, sehingga masih ditemukan kejadian luar biasa (KLB) di beberapa daerah.11 Untuk membuat vaksin yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya malaria diperlukan pengetahuan serta penelitian-penelitian mengenai mekanisme imunitas terhadap malaria. Imunitas terhadap malaria sangat kompleks karena melibatkan hampir seluruh komponen sistem imun baik imunitas spesifik maupun imunitas non spesifik, imunitas humoral maupun selular yang timbul secara alami maupun didapat.12

            Salah satu sel yang bertanggung jawab terhadap imunitas selular adalah limfosit T. Jadi limfosit T memiliki peran yang cukup penting pada respon imun tubuh terhadap infeksi malaria, sehingga pemahaman mengenai peran limfosit T sangat diperlukan untuk memahami respon kekebalan tubuh terhadap infeksi malaria.12

 

I.2        MASALAH

Bagaimana peran limfosit T pada infeksi malaria?

 

I.3        TUJUAN

Untuk mengetahui peran limfosit T pada infeksi malaria.

 

I.4        MANFAAT

1.         Memberikan kontribusi pemahaman teori mengenai peran limfosit T pada infeksi malaria untuk kepentingan ilmiah dan pendidikan.

2.         Dapat melatih kemampuan dan ketrampilan penulis dalam membuat tulisan ilmiah.

 

 

 

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

II.1      INFEKSI MALARIA

II.1.1   Definisi dan etiologi

            Malaria adalah infeksi yang disebabkan oleh parasit malaria, suatu protozoa darah yang termasuk dalam filum Apicomplexa, kelas Sporozoa, subkelas Coccidiida, ordo Eucoccidides, sub-ordo Haemosporidiidea, famili Plasmodiidae, genus Plasmodium. Empat spesies yang dapat menginfeksi manusia adalah Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, dan Plasmodium malariae. Ciri utama famili Plasmodiidae adalah adanya dua siklus hidup yaitu siklus aseksual pada vertebrata dan siklus seksual yang dimulai pada vertebrata dan dilanjutkan pada tubuh nyamuk.13

 

II.1.2   Manifestasi penyakit

            Penyakit malaria yang terjadi pada manusia memiliki empat jenis, dan masing-masing disebabkan oleh spesies parasit yang berbeda. Gejala tiap-tiap jenis biasanya berupa malaise, panas dingin menggigil dan keringat dingin. Dalam beberapa kasus yang tidak disertai pengobatan, gejala-gejala ini dapat muncul kembali secara periodik. Jenis malaria paling ringan adalah malaria tertiana yang disebabkan oleh Plasmodium vivax, dengan gejala demam dapat terjadi setiap dua hari sekali setelah gejala pertama terjadi (dapat terjadi selama dua minggu setelah infeksi). Malaria tropika disebabkan oleh Plasmodium falciparum merupakan penyebab sebagian besar kematian akibat malaria. Organisme bentuk ini sering menyebabkan malaria serebral, menyebabkan mengigau, koma, hingga kematian. Malaria kuartana yang disebabkan oleh Plasmodium malariae, memiliki masa inkubasi lebih lama daripada penyakit malaria tertiana atau tropika; gejala pertama jarang terjadi antara 18 sampai 40 hari setelah infeksi terjadi. Gejala tersebut kemudian akan terulang kembali setiap tiga hari. Ada juga jenis lain yang merupakan jenis malaria yang paling jarang ditemukan, disebabkan oleh Plasmodium ovale yang mirip dengan malaria tertiana.14

 

II.1.3   Cara penularan        

            Penyakit malaria terutama ditularkan melalui tusukan nyamuk Anopheles betina yang mengandung parasit. Ciri-ciri nyamuk Anopheles adalah pada saat menusuk akan membentuk sudut sekitar 45 derajat.15 Selain itu infeksi dapat terjadi secara terinduksi, yaitu saat fase aseksual dalam eritrosit masuk ke dalam tubuh manusia melalui darah, misalnya melalui transfusi, suntikan, atau secara kongenital.16

 

II.1.4   Siklus hidup

            Siklus parasit malaria dimulai setelah nyamuk Anopheles yang mengandung parasit malaria menusuk manusia untuk menghisap darah, maka keluar sporozoit dari kelenjar ludah nyamuk masuk kedalam aliran darah dan sampai pada jaringan hati. Parasit malaria pada siklus hidupnya, membentuk stadium skizon jaringan dalam sel hati (ekso-eritrositer). Setelah sel hati pecah akan keluar merozoit/kriptozoit yang masuk ke eritrosit membentuk stadium skizon dalam eritrosit (stadium eritrositer), mulai bentuk tropozoit muda sampai skizon tua/matang sehingga eritrosit pecah dan keluar merozoit. Merozoit sebagian besar masuk kembali ke eritrosit dan sebagian kecil membentuk gametosit jantan dan betina yang siap untuk diisap oleh nyamuk malaria betina dan melanjutkan siklus hidup di tubuh nyamuk (stadium sporogoni). Pada lambung nyamuk terjadi penyatuan antara sel gamet jantan (mikrogamet) dan sel gamet betina (makrogamet) yang menghasilkan zigot. Zigot akan berubah menjadi ookinet, kemudian masuk ke dinding lambung nyamuk berubah menjadi ookista. Setelah ookista matang kemudian pecah, maka akan mengeluarkan sporozoit yang akan menuju ke kelenjar liur nyamuk yang siap untuk ditularkan ke dalam tubuh manusia. Khusus Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale pada siklus parasitnya di jaringan hati (skizon jaringan), sebagian parasit yang berada dalam sel hati tidak melanjutkan siklusnya ke sel eritrosit tetapi tertanam di jaringan hati disebut hipnozoit, bentuk hipnozoit inilah yang menyebabkan relaps atau kekambuhan pada penderitanya. Pada penderita yang mengandung hipnozoit, apabila suatu saat dalam keadaan daya tahan tubuh menurun misalnya akibat terlalu lelah atau perubahan iklim (musim hujan), maka hipnozoit akan terangsang untuk melanjutkan siklus parasit dari dalam sel hati ke eritrosit. Setelah eritrosit yang berparasit pecah akan timbul gejala penyakitnya kembali.14

 

II.1.5   Perkembangan vaksin malaria

            Vaksin untuk malaria masih dikembangkan, sejauh ini belum terdapat vaksin yang efektif.3 Berikut akan disampaikan beberapa pencapaian dalam pengembangan vaksin malaria.

            Penentuan situs antigenik sel T manusia penting untuk perkembangan vaksin subunit dari suatu imunogen peptida jika tujuannya adalah memungkinkan boosting antibodi selama infeksi atau menstimulasi imunitas sel T yang tidak tergantung antibodi. Tiga domain imunodominan telah ditentukan lokasinya diluar daerah pengulangan oleh Good dkk. Domain ini, muncul pada regio polimorfik molekul, menunjukkan bahwa mutasi dan seleksi parasit telah terjadi sebagai respon pada tekanan imun dari sel T, namun polimorfisme ini dapat menjadi hambatan dalam perkembangan vaksin.18

            Calvo-Calle dkk. menemukan bahwa kemampuan vaksin peptida malaria akan meningkat dengan penambahan epitop sel T universal yang diturunkan dari parasit untuk meyakinkan bahwa semua orang yang menerima vaksin mengembangkan imunitas humoral dan selular yang spesifik-parasit. Dua protein circumcporozoite (CS) epitop sel T, yang sebelumnya teridentifikasi oleh klon sel T CD4+ yang diturunkan dari relawan yang terimunisasi sporozoit Plasmodium falciparum, diteliti untuk menentukan potensial ikatan HLA kelas II mereka. Epitop pertama, terletak pada asam amino 326-345 dari protein CS Plasmodium falciparum (strain NF54), bersifat “universal” dimana mampu berikatan dengan banyak molekul DR dan DQ in vitro. Sebaliknya, epitop kedua, T1, yang terletak pada daerah pengulangan dari CS, dikenali oleh sel T dan tidak berikatan dengan afinitas tinggi dengan molekul MHC kelas II manapun yang digunakan dalam tes ikatan peptida. Pola interaksi peptida/HLA in vitro berkorelasi dengan imunogenisitas in vivo.19

            Liver-stage antigen 1 (LSA1) adalah salah satu antigen pre-eritrositik yang dipertimbangkan dalam subunit multiantigen dari vaksin untuk malaria falciparum. Penelitian Connelly dkk. mengamati proliferasi sel T dan respon sitokin pada peptida yang sesuai dengan asam amino 84 hingga 107, 1813 hingga 1835, dan 1888 hingga 1909, dari LSA1 pada orang dewasa asimtomatik yang tinggal di Papua Nugini yang merupakan daerah holoendemik malaria. Saat sel T dari orang Amerika Utara yang tidak pernah terpajan malaria tidak berespon pada peptida manapun, 52 dari 55 subyek dari daerah yang endemis malaria menunjukkan respon proliferasi yang nyata pada satu atau lebih peptida LSA1. Respon IL-4 dan/atau IL-5 pada peptida LSA1 hanya terdeteksi pada 18% subyek.20

            Penelitian Nardin dkk. menunjukkan imunogenisitas dari vaksin malaria polioksim sintetik yang dibuat dengan tepat pada relawan dengan berbagai tipe HLA. Tujuh dari sepuluh relawan menghasilkan kadar yang tinggi dari antibodi yang bereaksi dengan sirkumsporozoit dari sporozoit Plasmodium falciparum.21

            Adenovirus defektif-replikasi rekombinan yang mengekspresikan gen CS dari Plasmodium berghei (Ad-PbCS) ditemukan menginduksi respon sel T CD8+ yang kuat setelah imunisasi intradermal atau intramuskular oleh Gilbert dkk. Vaksin adenoviral rekombinan ini mampu meningkatkan respon sel T CD8+ hingga tingkat protektif dipicu baik oleh vaksin DNA plasmid, vaksin partikel, maupun MVA rekombinan yang masing-masing mengekspresikan epitop atau antigen yang sama.22

 

II.2      LIMFOSIT T

II.2.1   Definisi dan perkembangan limfosit

            Limfosit adalah salah satu jenis sel darah putih dalam sistem imun vertebrata. Stem cell berdiferensiasi menjadi beberapa jenis sel darah di dalam sumsum tulang, yang disebut sebagai proses hematopoiesis. Limfosit berasal dari sel progenitor yang sama sebelum berkembang menjadi limfosit yang berbeda-beda. Pembentukan limfosit disebut sebagai limfopoiesis. Limfosit B akan tetap berada di sumsum tulang untuk menjalani proses maturasi, sedangkan limfosit T akan bermigrasi ke timus untuk menjalani proses maturasi. Setelah menjalani proses maturasi, limfosit akan memasuki sirkulasi darah dan menuju organ limfoid (misalnya limpa dan limfonodus).23

            Selama maturasinya dalam timus, limfosit T mulai mengekspresikan reseptor pengikat antigen unik pada membrannya. Molekul reseptor adalah suatu heterodimer, tersusun dari dua rantai protein, baik alfa dan beta (αβ) atau gamma dan delta (γδ), yang diikat oleh ikatan disulfida. Ujung amino terminal dari dua rantai melipat bersama membentuk celah pengikat antigen dari reseptor sel T. Reseptor sel T hanya dapat mengenali antigen bila bersamaan dengan protein membran sel yang dikenal sebagai major histocompatibility complex (MHC).24

            Sel progenitor dari stem cell hematopoietik berkembang di timus dan melakukan pembelahan sel hingga diperoleh timosit imatur dalam jumlah besar. Pada awalnya timosit tidak mengekspresikan CD4 ataupun CD8 (CD4- CD8-). dalam perkembangannya, mereka akan mengekspresikan baik CD4 dan CD8 sekaligus (CD4+ CD8+), dan sebagai sel yang matur mereka hanya akan menjadi timosit yang mengekspresikan salah satu dari CD4 atau CD8+ (CD4+ CD8- atau CD4+- CD8+) yang kemudian akan meninggalkan timus menjadi sel T imunokompeten matur.25

 

II.2.2   Gambaran morfologis

            Gambaran limfosit bila dilihat dengan menggunakan mikroskop cahaya akan dapat ditemukan dalam dua kategori utama, yaitu limfosit besar bergranula dan limfosit kecil.23 Limfosit kecil merupakan sel yang sferis, garis tengah 6-8 um, 20-30% dari jumlah leukosit yang berada pada darah tepi. Normalnya, inti relatif besar, bulat dengan cekungan kecil pada satu sisi, kromatin inti padat, anak inti baru terlihat dengan mikroskop elektron. Sitoplasma sedikit sekali, sedikit basofilik, mengandung granula-granula azurofilik, yang berwarna ungu dengan pewarnaan Romanovsky karena mengandung ribosom bebas dan poliribosom. Klasifikasi lainnya dari limfosit terlihat dengan ditemuinya tanda-tanda molekuler khusus pada permukaan membran sel-sel tersebut. Beberapa diantaranya membawa reseptor seperti imunoglobulin yang mengikat antigen spesifik pada membrannya. Limfosit dalam sirkulasi darah normal dapat berukuran 10-12um, ukuran yang lebih besar disebabkan sitoplasmanya yang lebih banyak, kadang-kadang disebut dengan limfosit sedang. Sel limfosit besar bergranula mudah ditemukan dalam kelenjar getah bening dan dalam darah tepi pada keadaan patologis, pada sel limfosit besar bergranula ini dapat ditemukan inti vesikular dengan anak inti yang jelas.26

            Limfosit normal pada darah tepi dengan pewarnaan Wright akan tampak sebagai sel yang besar, dengan inti yang terpulas gelap, dengan sangat sedikit sitoplasma yang basofilik. Pada kondisi normal, inti sel limfosit akan tampak seukuran sel darah merah (diameter sekitar 7 um), sehingga sering dipakai sebagai pembanding dalam klasifikasi anemia. Beberapa limfosit menunjukkan zona perinuklear yang jernih (biasa disebut halo) di sekeliling inti sel atau menunjukkan suatu zona jernih yang kecil pada salah satu sisi inti selnya. Poliribosom adalah ciri yang menonjol dari limfosit dan dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop elektron. Ribosom terlibat dalam sintesis protein yang memungkinkan pembentukan sitokin dan imunoglobulin dalam jumlah banyak oleh sel ini.23

 

II.2.3   Pembagian fungsional

            Terdapat tiga jenis utama dari limfosit yaitu limfosit T, limfosit B, dan sel natural killer (NK cells). Hampir semua limfosit besar adalah sel natural killer. Limfosit kecil adalah limfosit T dan limfosit B. Sel NK adalah bagian dari sistem imun non spesifik dan memiliki peran penting dalam mempertahankan tubuh dari tumor dan sel yang terinfeksi virus. Limfosit T dan limfosit B adalah komponen selular utama dari sistem imun spesifik. Limfosit T terlibat dalam imunitas selular, sedangkan limfosit B terutama bertanggung jawab atas imunitas humoral yang berkaitan dengan antibodi. Fungsi limfosit T dan limfosit B adalah untuk mengenali antigen “non-self”, melalui proses yang disebut sebagai penyajian antigen (antigen-presenting).23

            Berdasarkan sifat-sifat fungsionalnya, limfosit kecil digolongkan dalam dua kelompok besar disebut limfosit B dan limfosit T (atau sel B dan sel T). Dalam kehidupan pasca-natal, limfosit B berkembang dalam jaringan mieloid sementara limfosit T berkembang dalam timus. Meskipun demikian penampilan mikroskopiknya serupa, sehingga diperlukan cara lain untuk membedakannya (Tabel I).28

            Terdapat dua subpopulasi utama limfosit T: limfosit T helper (Th) dan limfosit T sitotoksik (Tc), keduanya dapat dibedakan berdasarkan adanya glikoprotein membran CD4 pada sel T helper (sehingga sering disebut juga sebagai sel T CD4+) dan adanya glikoprotein membran CD8 pada sel T sitotoksik (sehingga sering disebut juga sel T CD8+). Untuk dapat mengenali suatu kompleks antigen-MHC, sel Th menginduksi berbagai faktor pertumbuhan yang secara kolektif dikenal sebagai sitokin yang secara lebih khusus bisa disebut limfokin. Bila sel T teraktivasi, ia akan menjadi sel efektor yang menyekresikan bermacam sitokin yang memainkan peranan penting dalam aktivasi sel B, sel Tc, makrofag, dan sel-sel lain yang berpartisipasi dalam respon imun.24

Tabel I. Beberapa ciri khas kedua jenis utama limfosit darah tepi

 

Limfosit B

Limfosit T

Determinan Permukaan Khas

Imunoglobulin (membran) permukaan (sIg)

Ada

Tidak ada

Reseptor C3

Ada

Tidak terdapat dalam subset tertentu

Reseptor Fc

Ada

Tidak terdapat dalam subset tertentu

Reseptor eritrosit domba

Tidak ada

Ada

Antigen Thy 1 (tikus)

Tidak ada

Ada

Antigen T (OKT) (manusia)

Tidak ada

Ada

Respon Mitogenik Preferensial

Lipopolisakarida bakteri (LPS)

Ya

Tidak

Concavalin A (Con A)

Tidak

Ya

Sumber: Cormack D.28          

 

II.2.4   Aktivasi limfosit T

            Meskipun mekanisme spesifik dari aktivasi agak berbeda pada jenis-jenis sel T yang berbeda, “model dua sinyal” pada sel T CD4+ dapat mewakili mekanisme aktivasi sel T secara umum. Aktivasi sel T CD4+ terjadi saat perlekatan kedua reseptor sel T dan CD28 pada sel T  dengan peptida major histocompatibility complex (MHC) dan CD80 pada APC. Baik reseptor sel T maupun CD28 keduanya dibutuhkan untuk memberikan respon imun yang efektif; tanpa adanya ko-stimulasi CD28, sinyal yang dihasilkan oleh reseptor sel T saja hanya akan memicu anergi. Pelepasan sinyal dari CD28 dan reseptor sel T melibatkan banyak protein.29

            Sinyal pertama dilepaskan oleh ikatan reseptor sel T pada peptida pendek dari major histocompatibility complex pada sel lain. Hal ini memastikan bahwa hanya sel T dengan reseptor sel T yang spesifik terhadap peptida tersebut sajalah yang teraktivasi. Sel lain yang memiliki major histocompatibility complex biasanya berupa antigen presenting cell (APC) profesional yaitu sel dendritik, limfosit B, maupun makrofag.25 Sel T tergolong antigen presenting cells yang ‘non-professional’, yaitu yang dapat mengespresikan MHC kelas II pada keadaan tertentu, karena mayoritas dari sel T yang bersirkulasi pada individu yang sehat jarang mengekspresikan MHC kelas II, namun dapat mengekspresikan HLA-DR, HLA-DP, dan HLA-DQ setelah teraktivasi.29 Penelitian Xiang dkk. menunjukkan bahwa sel T CD4+ dapat memperoleh molekul MHC kelas II, CD 54, dan CD80 dari APC melalui stimulasi oleh APC tersebut. Lebih lanjut terdapat bukti yang jelas yang menjadi dasar aspek praktis sel T CD4+ dalam peranannya sebagai APC pada respon sel T CD8+ yang efektif baik in vitro maupun in vivo.30 Peptida yang disajikan pada sel T CD8+ oleh molekul MHC kelas I adalah sepanjang 8-9 asam amino; peptida yang disajikan pada sel T CD4+ oleh molekul MHC kelas II lebih panjang.25

            Sinyal kedua dilepaskan dari ko-stimulasi, dimana reseptor permukaan pada APC terinduksi oleh stimulus dalam jumlah yang relatif sedikit, umumnya produk yang dihasilkan patogen, namun dapat juga berupa produk dari sel yang rusak. Reseptor ko-stimulasi yang terdapat pada sel T naif hanyalah CD28, sehingga ko-stimulasi untuk sel ini berasal dari protein CD80 dan CD86 pada APC. Reseptor lain diekspresikan setelah aktivasi sel T, seperti OX40 dan ICOS, namun untuk mengekspresikannya sangat tergantung pada CD28. Sinyal kedua akan memberikan ijin kepada sel T untuk berespon terhadap suatu antigen. Tanpa adanya sinyal kedua, sel T akan menjadi anergik dan menjadi lebih sulit untuk diaktivasi pada waktu mendatang. Mekanisme ini mencegah respon yang tidak perlu pada tubuh.25

 

II.3      PERAN LIMFOSIT T PADA INFEKSI MALARIA

            Sel T helper dalam fungsinya sebagai pengatur membantu produksi antibodi antiplasmodium bekerja melalui mekanisme berikut. Protein plasmodium seperti Pf 155/RESA, MSA-2 memacu respon limfosit B dengan perantaraan sel T helper terutama subset Th-2. Epitop-epitop dari antigen parasit ini akan berikatan dengan reseptor limfosit B yang berupa membran imunoglobulin (mIg) untuk selanjutnya sebagai sel penyaji antigen akan berikatan dengan limfosit T melalui reseptor sel T. Selanjutnya sel T akan berdiferensiasi menjadi sel Th-2 yang akan menghasilkan sitokin IL-4 dan IL-5 yang kemudian akan memacu produksi Ig G1, Ig G4 dan Ig G3, serta Ig E. Beberapa Ig G1 dan Ig G3 akan berikatan dengan reseptor Fcγ pada makrofag yang akan meningkatkan kemampuan fagositosisnya terhadap eritrosit yang terinfeksi parasit. Secara umum dikatakan Th-2 berperan dalam produksi antibodi dengan memberikan spesifisitas bagi antibodi tersebut.12 Namun sel T tidak tergantung pada antibodi untuk dapat mengontrol parasitemia.31

            Peran sentral dari sel T CD4+ pada imunitas protektif pada infeksi malaria stadium darah telah ditunjukkan baik pada penelitian pada tikus maupun manusia. Imunitas alami untuk malaria berkembang dengan sangat lambat, meskipun sel T CD4+ memiliki potensi yang sangat besar untuk memberikan imunitas protektif.31

            Sel T sebagai pengatur yang mengaktifkan sel T sitotoksik, makrofag, fagosit lain melalui subset Th-1. Subset Th-1 melalui sekresi IFN dan TNF akan mengaktifkan imunitas seluler yang dilakukan oleh makrofag, monosit, lekosit. Fagosit-fagosit ini akan menghasilkan radikal bebas seperti nitrid oksid (NO), hidrogen peroksida (H2O2), O2 singlet, OH-, yang akan menghambat pertumbuhan dan degenerasi parasit melalui stress oksidan.32 Th-1 juga mengaktifkan sel NK melalui mekanisme ADCC. Disimpulkan subset Th-1 akan mengaktifkan mekanisme imunitas seluler baik spesifik maupun non-spesifik untuk membunuh plasmodium intraeritrosit.12

            Peranan efektor langsung berupa fagositosis dilakukan oleh sel CD 8+ (sel T sitotoksik). Sel ini terutama melindungi infeksi pada stadium hepatosit, bekerja melalui dua cara yaitu secara tidak langsung dengan mensekresi IFN-γ yang menghambat pembiakan parasit di dalam hepatosit, dan secara langsung dengan merusak hepatosit yang terinfeksi. Sel ini untuk bekerjanya harus mengenali molekul MHC kelas I yang terdapat pada permukaan hepatosit, sebaliknya berhubung molekul ini tidak terdapat pada permukaan eritrosit yang terinfeksi parasit maka sel T CD 8+ ini tidak dapat bekerja pada stadium darah, hal ini berlawanan dengan sel T CD 4+.12

            Penelitian Xu dkk. menunjukkan bahwa delesi apoptotik pada sel T CD4+ yang spesifik parasit adalah sesuatu yang lazim ditemui setelah terkena infeksi oleh beberapa jenis parasit malaria. Mungkin hal ini adalah strategi yang digunakan oleh parasit malaria untuk mengeliminasi sel T dan melemahkan pertahanan tubuh yang dapat mencegah perluasan infeksi. Penekanan dari penelitian ini adalah deplesi pada malaria hanya terbatas pada sel T yang spesifik parasit. Setidaknya pada jangka pendek, hanya sel T yang spesifik parasit yang mengalami deplesi segera setelah mereka berikatan antigen parasit yang spesifik pada mereka.31

            Nasib sel T in vivo sedang diteliti secara intensif oleh para peneliti. Selama respon imun dapat ditemukan sejumlah besar sel T efektor yang teraktivasi. Kebanyakan dari sel ini akan segera dieliminasi melalui mekanisme apoptosis. Keseimbangan antara sel yang masih tersisa dengan apoptosis dari sel imun selama infeksi adalah hal yang sangat penting karena dapat mempengaruhi pembentukan sel T baru dan dapat menyingkirkan kelebihan sel T yang teraktivasi. Pada sisi lain, apoptosis dapat diinduksi oleh organisme infektif untuk mempertahankan kelangsungan hidup organisme infektif tersebut.31

            Masalah penting lain adalah tentang peran mana yang lebih menonjol dari Th-1 atau Th-2 yang penting bagi perlindungan terhadap plasmodium, berhubung satu subset akan mendominasi subset lainnya karena sitokin yang dihasilkan oleh satu subset akan menghambat pertumbuhan subset lainnya. Diduga sitokin yang dihasilkan pada awal respon imun akan mempengaruhi jenis/asal dari respon sel T dan terutama diferensiasi sel T CD 4+ menjadi subset Th-1 dan Th-2. Dalam proses ini mungkin limpa memegang peranan penting mengingat disinilah tempat berbagai mekanisme efektor antiplasmodium baik produksi antibodi, fagositosis ataupun sitotoksik dihasilkan, serta mungkin pula induksi atau seleksi produksi sitokin-sitokin kunci sesuai pola sitokin Th-1 atau Th-2. Masalah penting lain adalah mengidentifikasi determinan antigenik parasit yang memacu produksi awal sitokin-sitokin kunci. Imunitas seluler melalui aktifitas limfosit Th-1 lebih dominan pada stadium eritrosit, sedang aktivitas Th-2 yang berkaitan dengan imunitas humoral lebih efektif memerangi infeksi pada stadium lainnya. Meskipun demikian masalah peran yang lebih dominan antara Th-1 atau Th-2 dalam memerangi plasmodium tetap belum jelas, karena pada binatang percobaan yang diinfeksi dengan Plasmodium chaubaudi kedua subset tersebut berperan bersama melawan infeksi malaria pada stadium eritrosit. Hasil penelitian pada binatang percobaan menunjukkan bahwa Th-1 berperan penting pada infeksi awal (primer), sedang Th-2 lebih dominan pada infeksi kronis. Selain itu Fell dan Smith mengajukan dua hipotesis mengenai imunitas pada stadium eritrosit: pada hipotesis pertama sel Th-1 berperan pada infeksi awal/stadium parasitemia akut dengan mengaktifkan makrofag dan leukosit PMN. Untuk menghasilkan mediator seperti NO yang akan membunuh parasit, selanjutnya Th-2 akan aktif memacu produksi antibodi spesifik yang akan membersihkan parasit (model “Th-1 -to- Th-2”); hipotesa kedua menyatakan bahwa pada infeksi awal dihadapi oleh respon imun nonspesifik (innate) terutama makrofag, leukosit PMN, limpa, melalui fagositosis atau sekresi sitokin TNF atau mediator oksidan seperti NO dan O2 radikal, yang akan membatasi pertumbuhan parasit, dan selanjutnya sel Th-2 akan mengaktifkan sel B untuk menghasilkan antibodi spesifik yang akan membersihkan parasit (model “innate-to-Th-2”), sedang sel Th-1 tidak berperan aktif diduga karena tidak mampu mengatasi infeksi parasit intraseluler yang meluas.12

            Limfosit T berdasarkan jenis reseptor sel T-nya dibagi menjadi sel Tαβ (alfa beta) dan sel Tγδ (gamma delta). Pada malaria diduga yang banyak berperan dalam penyembuhan pada stadium eritrosit adalah sel Tαβ, namun mungkin sel Tγδ juga berperan protektif dengan merusak merozoit ekstraseluler.12 Reseptor sel T gamma delta normalnya diekspresikan oleh sebagian kecil limfosit yang beredar dalam darah. Meskipun peranan sel T gamma delta pada respon imun fisiologis masih belum diketahui, terdapat banyak bukti bahwa sel T gamma delta mungkin berperan pada respon imun pada mycobacterium atau organisme infektif lainnya. Hasil penelitian Ho dkk. mengindikasikan bahwa jumlah sel T gamma delta mengalami peningkatan selama infeksi akut Plasmodium falciparum dan tetap tinggi hingga setidaknya empat minggu selama masa penyembuhan. Sel T gamma delta mungkin berpartisipasi pada respon imun melawan Plasmodium falciparum dengan berperan sebagai sel sitotoksik melawan parasit intraeritrosit. Selain itu, limfokin mungkin diproduksi pada saat terdapat stimulasi antigen yang mungkin memiliki aktivitas antiparasit.33

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PEMBAHASAN

                       

            Malaria telah menjadi salah satu penyakit infeksi tertua yang memiliki penyebaran cukup luas di daerah beriklim tropis. Saat ini pun malaria masih menyebabkan angka kematian yang tinggi (sekitar tiga juta kematian per tahun di seluruh dunia) dan memiliki kecenderungan untuk terus meningkat. Salah satu upaya pencegahan yang bisa dilakukan pada penyakit infeksi yang mematikan adalah pemberian vaksin, namun hingga kini belum ditemukan vaksin yang efektif untuk mencegah infeksi malaria, sehingga vaksinasi bukanlah sarana pencegahan terbaik untuk saat ini.

            Malaria sebagai suatu infeksi oleh organisme parasit berupa plasmodium tentu akan memicu aktivitas sistem imun manusia. Sistem imun manusia terdiri atas komponen selular dan humoral, sehingga infeksi malaria akan melibatkan baik imunitas selular maupun imunitas humoral. Salah satu sel yang berperan dalam imunitas selular adalah limfosit. Limfosit dalam perkembangannya akan terbagi dalam dua golongan besar yaitu limfosit B yang mengalami proses maturasi di sumsum tulang, serta limfosit T yang mengalami proses maturasi di timus.

            Limfosit T akan mengekspresikan reseptor pengikat antigen dan penanda tertentu pada membrannya selama proses maturasi di timus. Molekul reseptor adalah heterodimer yang tersusun dari dua rantai, bisa berupa rantai alfa dan beta maupun rantai gamma dan delta. Glikoprotein pada membran limfosit T menjadi dasar pembagian subpopulasi limfosit T, sel yang mengekspresikan molekul CD4 (sel T CD4+) dikelompokkan sebagai subpopulasi T helper (Th), sedangkan sel yang mengekspresikan molekul CD8 (sel T CD8+) dikelompokkan sebagai subpopulasi T sitotoksik (Tc).

            Aktivasi limfosit T melibatkan sel penyaji antigen (antigen presenting cell, APC) untuk dapat mengenali suatu antigen, meskipun limfosit T sendiri juga mampu berperan sebagai APC untuk suatu antigen yang sudah dikenal sebelumnya. Aktivasi limfosit T umumnya melibatkan dua sinyal dari suatu major histocompatibility complex (MHC) dan ko-stimulasi dari reseptor pada APC.

            Limfosit T helper terutama memiliki peran membantu produksi antibodi dan mengaktifkan fungsi sel-sel lain dalam sistem imun.  Sel T helper berdasarkan jenis sitokin yang dihasilkan dibagi lagi menjadi subset Th-1 (menghasilkan sitokin IFN-γ dan TNF-α) yang akan mengaktifkan imunitas selular, dan subset Th-2 (menghasilkan sitokin IL-4, IL-5, IL-6, IL-10) yang akan mengaktifkan imunitas humoral.

            Subset Th-1 melalui sekresi IFN dan TNF akan mengaktifkan imunitas seluler baik spesifik maupun non spesifik untuk membunuh plasmodium dalam stadium intraeritrosit. Subset Th-2 akan membantu produksi antibodi antiplasmodium oleh limfosit B dengan menghasilkan interleukin-interleukin yang akan memacu produksi Ig G dan Ig E. Ig G akan berikatan dengan reseptor makrofag yang akan meningkatkan kemampuan fagositosisnya terhadap eritrosit yang terinfeksi parasit. Subset Th-1 berperan penting pada infeksi awal (primer), sedang Th-2 lebih dominan pada infeksi kronis.

            Limfosit T sitotoksik memiliki peran sebagai efektor langsung dalam fagositosis hepatosit yang terinfeksi, namun juga berperan secara tidak langsung dengan mensekresi IFN-γ yang menghambat pembiakan parasit di dalam hepatosit. Limfosit T sitotoksik harus mengenali molekul MHC kelas I yang terdapat pada permukaan hepatosit untuk dapat menjalankan perannya dengan baik, namun karena sel darah merah tidak mengekspresikan molekul MHC kelas I maka sel ini tidak memiliki peran dalam mengatasi infeksi malaria pada stadium intraeritrosit.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

PENUTUP

 

IV.1     SIMPULAN

            Peran limfosit T dalam melawan infeksi malaria terutama sebagai pengatur (regulator) yang dilakukan oleh limfosit T helper (CD 4+) yaitu membantu produksi antibodi dan mengaktifkan fungsi fagosit-fagosit lainnya, serta peran sebagai efektor langsung berupa fagositosis dilakukan oleh populasi limfosit T sitotoksik (CD 8+). Limfosit T helper terutama melalui subset Th-1 berperan mengatasi infeksi malaria dalam stadium intraeritrosit, sedangkan limfosit T sitotoksik terutama berperan mengatasi infeksi malaria dalam stadium eksoeritrosit pada hati.

 

IV.2     SARAN

1.     Perlu dilakukan penelitian lebih mendalam untuk lebih memahami peran limfosit T pada infeksi malaria.

2.     Perlu dilakukan penelitian mengenai peran masing-masing komponen sistem imun dalam mengatasi infeksi malaria agar dapat memahami respon imun tubuh pada infeksi malaria secara menyeluruh.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

1.     Joy D, Feng X, Mu J, et al. Early origin and recent expansion of Plasmodium falciparum. Science, 2003, 300: 318-21. Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?cmd=Retrieve&db=pubmed&dopt=AbstractPlus&list_uids=12690197 [Cited on August 6, 2007]

 

2.     Cox F. History of Human Parasitology. Clin Microbiol Rev, 2002, 15: 595-612. Available at http://www.pubmedcentral.nih.gov/article render.fcgi?tool=pubmed&pubmedid=12364371 [Cited on August 6, 2007]

 

3.     Wikipedia. Malaria. Available at http://en.wikipedia.org/wiki/Malaria [Cited on May 15,2007]

 

4.     Anonim. Alphonse Laveran: The Nobel Prize in Physiology or Medicine 1907. Available at http://nobelprize.org/nobel_prizes/medicine /laureates/1907/laveran-bio.html [Cited on August 6, 2007]

 

5.     Enersen O. Ettore Marchiafava. Available at http://www.whonamedit.com/ doctor.cfm/2478.html [Cited on August 6, 2007]

 

6.     Anonim. Ronald Ross: The Nobel Prize in Physiology or Medicine 1902. Available at http://nobelprize.org/nobel_prizes/medicine/laureates /1902/ross-bio.html [Cited on August 6, 2007]

 

7.     Krotoski W, Collins W, Bray, et al. Demonstration of hypnozoites in sporozoite-transmitted Plasmodium vivax infection. Am J Trop Med Hyg, 1982, 31: 1291-3. Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov /sites/entrez?cmd=Retrieve&db=pubmed&dopt=AbstractPlus&list_uids=6816080 [Cited on August 6, 2007]

 

8.     Meis J, Verhave J, Jap P, Sinden R, Meuwissen J. Malaria parasites--discovery of the early liver form. Nature, 1983, 302: 424-6. Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?cmd=Retrieve&db=pub med&dopt=AbstractPlus&list_uids=6339945 [Cited on August 6, 2007]

 

9.     TDR. Malaria. Available at http://www.who.int/tdr/diseases/malaria/ diseaseinfo.htm [Cited on May 15, 2007]

 

10.  Globalis Indonesia. Indonesia: Malaria Cases. Available at http://globalis.gvu.unu.edu/indicator_detail.cfm?IndicatorID=74&Country=ID [Cited on May 23, 2007]

 

11.  WHO. Malaria Epidemics/Outbreaks in SEA Region. Available at http://www.searo.who.int/en/Section10/Section21/Section1987.htm [Cited on May 23, 2007]

 

12.  Nugroho A, Harijanto P, Datau E. Imunologi pada Malaria. In: Harijanto PN, editor. Malaria. Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penanganan. Jakarta: EGC; 2000: 128-50

 

13.  Nugroho A, Wagey M. Siklus Hidup Plasmodium Malaria. In: Harijanto PN, editor. Malaria. Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penanganan. Jakarta: EGC; 2000: 38-53

 

14.  Anonim. Malaria. Available at http://www.infeksi.com/articles.php? lng=in&pg=46 [Cited on July 26, 2007]

 

15.  Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Malaria. Available at http://www.dinkes-dki.go.id/penyakit.html [Cited on July 26, 2007]

 

16.  Pribadi W. Parasit Malaria. In: Gandahusada S, Ilahude H, Pribadi W, editor. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta: FKUI; 2003: 171-85

 

17.  Eichner M. Malaria life cycle. Available at www.uni-tuebingen.de/modeling/Mod_Malaria_Intro_en.html [Cited on July 26, 2007]

 

18.  Good M, Pombo D, Quakyi I, et al. Human T-Cell Recognition of the Circumsporozoite Protein of Plasmodium falciparum: Immunodominant T-Cell Domains Map to the Polymorphic Regions of the Molecule. PNAS, 1988, 85: 1199-1203. Available at http://www.pnas.org/cgi/content/abstract/85/4/1199 [Cited on May 9, 2007]

 

19.  Calvo-Calle J, Hammer J, Sinigaglia F, Clavijo P, Moya-Castro Z, Nardin E. Binding of malaria T cell epitopes to DR and DQ molecules in vitro correlates with immunogenicity in vivo: identification of a universal T cell epitope in the Plasmodium falciparum circumsporozoite protein. J Immunol, 1997, 159: 1362-73. Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retrieve&db =PubMed&list_uids=9233633&dopt=Citation [Cited on May 9, 2007]

 

20.  Connelly M, King C, Bucci K, et al. T-cell immunity to peptide epitopes of liver-stage antigen 1 in an area of Papua New Guinea in which malaria is holoendemic. Infect Immun, 1997, 65: 5082-7. Available at http://iai.asm.org/cgi/content/abstract/65/12/5082 [Cited on May 9, 2007]

 

21.  Nardin E, Calvo-Calle J, Oliveira G, et al. A Totally Synthetic Polyoxime Malaria Vaccine Containing Plasmodium falciparum B Cell and Universal T Cell Epitopes Elicits Immune Responses in Volunteers of Diverse HLA Types. J Immunol, 2001, 166: 481-489. Available at http://jimmunol.highwire.org/cgi/content/abstract/166/1/481 [Cited on May 9, 2007]

 

22.  Gilbert S, Schneider J, Hannan C, et al. Enhanced CD8 T cell immunogenicity and protective efficacy in a mouse malaria model using a recombinant adenoviral vaccine in heterologous prime-boost immunisation regimes. Vaccine, 2002, 20: 1039-45. Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retrieve&db=PubMed&list_uids=11803063&dopt=Abstract [Cited on May 9, 2007]

 

23.  Wikipedia. Lymphocyte. Available at http://en.wikipedia.org/wiki/ Lymphocyte [Cited on August 6, 2007]

 

24.  Tambajong E. Imunopatologi. Pemahaman Dasar. Manado: FK Unsrat; 2001: 22-3

 

25.  Wikipedia. T cell. Available at http://en.wikipedia.org/wiki/T_cells [Cited on August 6, 2007]

 

26.  Effendi Z. Peranan Leukosit sebagai Anti Inflamasi Alergik dalam Tubuh. Medan: FK USU; 2003. Available at http://library.usu.ac.id/ modules.php?op=modload&name=Downloads&file=index&req=getit&lid=503 [Cited on July 26, 2007]

 

27.  NHC Biology. Lymphocyte. Available at http://science.nhmccd.edu/ biol/cardio/lymphocyte.jpg [Cited on August 10, 2007]

 

28.  Cormack D. Buku Teks Ham Histologi. Jakarta: Binarupa Aksara; 1994: 271-4, 305-11

 

29.  Pichler W, Wyss-Coray T. T Cell as Antigen-presenting Cells. Immunology Today, 1994, 15: 312-5

 

30.  Xiang J, Huang H, Liu Y. A New Dynamic Model of CD8+ Effector Cell Responses via CD4+ T Helper-Antigen-presenting Cells. The Journal of Immunology, 2005, 174: 7497-505

 

31.  Xu H, Wipasa J, Yan H, et al. The Mechanism and Significance of Deletion of T Parasite-specific CD4+ Cells in Malaria Infection. J Exp Med 2002, 195: 881-892

 

32.  Wozencraft A, Dockrell H, Taverne J, et al. Killing of Human Malaria Parasites by Macrophage Secretory Products. Infect Immun, 1984, 43: 664-669

 

33.  Ho M, Webster H, Tongtawe P, Pattanapanyasat K, Weidanz W. Increased gamma delta T cells in acute Plasmodium falciparum malaria. Immunol Lett, 1990, 25: 139-41. Available at http://www. ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retrieve&db=PubMed&list_uids=2149360&dopt=Citation [Cited on May 9, 2007]

 

No comments:

Post a Comment

Referensi Tuberkulosis N-Q

   Ngo, M.D.; Bartlett, S.; Ronacher, K. Diabetes-Associated Susceptibility to Tuberculosis: Contribution of Hyperglycemia vs. Dyslipidemia....