BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Malaria telah menginfeksi manusia
selama lebih dari 50.000 tahun, dan mungkin telah menjadi patogen pada manusia
sepanjang sejarah kehidupan manusia.1 Demam periodik yang menjadi
gejala khas untuk penyakit malaria sudah tertulis sejak dinasti Xia di Cina
sekitar tahun 2700 SM serta dari tulisan tabib-tabib Yunani, Romawi, Asyiria,
India, Arab, Eropa hingga abad ke-19, tulisan mendetail yang paling awal adalah
tulisan Hipokrates dari abad kelima SM.2 Istilah malaria berasal
dari bahasa Italia pada abad pertengahan: mala aria (udara buruk). Pada
daerah lain di dunia penyakit ini disebut juga marsh fever (demam rawa)
karena kaitannya dengan rawa-rawa.3
Penelitian ilmiah mengenai malaria
mencapai kemajuan bermakna pada tahun 1880, saat dokter tentara Perancis yang
bertugas di Aljazair bernama Charles Louis Alphonse Laveran mengamati adanya
parasit di dalam sel darah merah penderita malaria. Beliau kemudian
mengemukakan bahwa malaria disebabkan oleh protozoa ini, itulah pertama kalinya
protozoa diidentifikasi sebagai penyebab penyakit.4 Protozoa
tersebut diberi nama Plasmodium oleh dua ilmuan Italia Ettore Marchiafava dan
Angelo Celli.5
Sir Ronald Ross yang bertugas di
India membuktikan bahwa malaria ditularkan oleh nyamuk pada tahun 1898, dan
beliau berhasil menemukan daur hidup parasit malaria pada tubuh nyamuk. Beliau
membuktikan dengan menunjukkan bahwa beberapa spesies nyamuk menularkan malaria
ke unggas, selain itu beliau juga mengisolasi parasit malaria dari kelenjar ludah
nyamuk yang telah menghisap darah dari unggas yang terinfeksi.6
Meskipun stadium darah dan stadium
nyamuk dari daur hidup malaria sudah ditemukan pada abad ke-19 dan awal abad
ke-20, namun bentuk laten pada sel hati baru ditemukan pada tahun 1980an oleh
Krotoski dkk. dan Meis dkk.7,8
Malaria menyebabkan sekitar 350-500
juta infeksi pada manusia dan sekitar satu hingga tiga juta kematian per tahun
di seluruh dunia. Jika prevalensi malaria terus mengalami peningkatan yang sama
seperti saat ini, maka tingkat kematian akan berlipat dua dalam duapuluh tahun
kedepan. Angka statistik yang tepat tidak diketahui karena banyak kasus terjadi
di daerah pedesaan dimana masyarakat tidak memiliki akses ke rumah sakit atau
tidak mendapat pelayanan kesehatan, akibatnya banyak kasus yang tidak
terdokumentasi.3
Malaria bisa ditemukan di lebih dari
100 negara, namun terutama terbatas pada daerah tropis dari benua Afrika, Asia,
dan Amerika Latin. Lebih dari 90% kasus malaria dan kebanyakan kematian akibat
malaria terjadi di benua Afrika.9
Berdasarkan database WHO
tahun 2000, Indonesia menempati urutan ke-26 dengan jumlah kasus 919,8 per
100.000 orang.10 Epidemi fokal bisa ditemukan setiap tahun terutama
di luar Pulau Jawa dan Bali, sehingga masih ditemukan kejadian luar biasa (KLB)
di beberapa daerah.11 Untuk membuat vaksin yang dapat digunakan
untuk mencegah terjadinya malaria diperlukan pengetahuan serta
penelitian-penelitian mengenai mekanisme imunitas terhadap malaria. Imunitas
terhadap malaria sangat kompleks karena melibatkan hampir seluruh komponen
sistem imun baik imunitas spesifik maupun imunitas non spesifik, imunitas
humoral maupun selular yang timbul secara alami maupun didapat.12
Salah satu sel yang bertanggung
jawab terhadap imunitas selular adalah limfosit T. Jadi limfosit T memiliki
peran yang cukup penting pada respon imun tubuh terhadap infeksi malaria,
sehingga pemahaman mengenai peran limfosit T sangat diperlukan untuk memahami
respon kekebalan tubuh terhadap infeksi malaria.12
I.2 MASALAH
Bagaimana peran limfosit T pada infeksi malaria?
I.3 TUJUAN
Untuk mengetahui peran limfosit T pada infeksi malaria.
I.4 MANFAAT
1.
Memberikan kontribusi pemahaman
teori mengenai peran limfosit T pada infeksi malaria untuk kepentingan ilmiah
dan pendidikan.
2.
Dapat melatih kemampuan dan
ketrampilan penulis dalam membuat tulisan ilmiah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 INFEKSI MALARIA
II.1.1 Definisi dan etiologi
Malaria adalah infeksi yang
disebabkan oleh parasit malaria, suatu protozoa darah yang termasuk dalam filum
Apicomplexa, kelas Sporozoa, subkelas Coccidiida, ordo Eucoccidides,
sub-ordo Haemosporidiidea, famili Plasmodiidae, genus Plasmodium.
Empat spesies yang dapat menginfeksi manusia adalah Plasmodium falciparum,
Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, dan Plasmodium malariae.
Ciri utama famili Plasmodiidae adalah adanya dua siklus hidup yaitu
siklus aseksual pada vertebrata dan siklus seksual yang dimulai pada vertebrata
dan dilanjutkan pada tubuh nyamuk.13
II.1.2 Manifestasi penyakit
Penyakit malaria yang terjadi pada
manusia memiliki empat jenis, dan masing-masing disebabkan oleh spesies parasit
yang berbeda. Gejala tiap-tiap jenis biasanya berupa malaise, panas dingin
menggigil dan keringat dingin. Dalam beberapa kasus yang tidak disertai
pengobatan, gejala-gejala ini dapat muncul kembali secara periodik. Jenis
malaria paling ringan adalah malaria tertiana yang disebabkan oleh Plasmodium
vivax, dengan gejala demam dapat terjadi setiap dua hari sekali setelah
gejala pertama terjadi (dapat terjadi selama dua minggu setelah infeksi). Malaria
tropika disebabkan oleh Plasmodium falciparum merupakan penyebab
sebagian besar kematian akibat malaria. Organisme bentuk ini sering menyebabkan
malaria serebral, menyebabkan mengigau, koma, hingga kematian. Malaria kuartana
yang disebabkan oleh Plasmodium malariae, memiliki masa inkubasi lebih
lama daripada penyakit malaria tertiana atau tropika; gejala pertama jarang
terjadi antara 18 sampai 40 hari setelah infeksi terjadi. Gejala tersebut
kemudian akan terulang kembali setiap tiga hari. Ada juga jenis lain yang
merupakan jenis malaria yang paling jarang ditemukan, disebabkan oleh Plasmodium
ovale yang mirip dengan malaria tertiana.14
II.1.3 Cara penularan
Penyakit malaria terutama ditularkan
melalui tusukan nyamuk Anopheles betina yang mengandung parasit. Ciri-ciri
nyamuk Anopheles adalah pada saat menusuk akan membentuk sudut sekitar
45 derajat.15 Selain itu infeksi dapat terjadi secara terinduksi,
yaitu saat fase aseksual dalam eritrosit masuk ke dalam tubuh manusia melalui
darah, misalnya melalui transfusi, suntikan, atau secara kongenital.16
II.1.4 Siklus hidup
Siklus parasit malaria dimulai
setelah nyamuk Anopheles yang mengandung parasit malaria menusuk manusia untuk
menghisap darah, maka keluar sporozoit dari kelenjar ludah nyamuk masuk kedalam
aliran darah dan sampai pada jaringan hati. Parasit malaria pada siklus
hidupnya, membentuk stadium skizon jaringan dalam sel hati (ekso-eritrositer).
Setelah sel hati pecah akan keluar merozoit/kriptozoit yang masuk ke eritrosit
membentuk stadium skizon dalam eritrosit (stadium eritrositer), mulai bentuk
tropozoit muda sampai skizon tua/matang sehingga eritrosit pecah dan keluar
merozoit. Merozoit sebagian besar masuk kembali ke eritrosit dan sebagian kecil
membentuk gametosit jantan dan betina yang siap untuk diisap oleh nyamuk
malaria betina dan melanjutkan siklus hidup di tubuh nyamuk (stadium
sporogoni). Pada lambung nyamuk terjadi penyatuan antara sel gamet jantan
(mikrogamet) dan sel gamet betina (makrogamet) yang menghasilkan zigot. Zigot
akan berubah menjadi ookinet, kemudian masuk ke dinding lambung nyamuk berubah
menjadi ookista. Setelah ookista matang kemudian pecah, maka akan mengeluarkan
sporozoit yang akan menuju ke kelenjar liur nyamuk yang siap untuk ditularkan ke
dalam tubuh manusia. Khusus Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale
pada siklus parasitnya di jaringan hati (skizon jaringan), sebagian parasit
yang berada dalam sel hati tidak melanjutkan siklusnya ke sel eritrosit tetapi
tertanam di jaringan hati disebut hipnozoit, bentuk hipnozoit inilah yang
menyebabkan relaps atau kekambuhan pada penderitanya. Pada penderita yang
mengandung hipnozoit, apabila suatu saat dalam keadaan daya tahan tubuh menurun
misalnya akibat terlalu lelah atau perubahan iklim (musim hujan), maka hipnozoit
akan terangsang untuk melanjutkan siklus parasit dari dalam sel hati ke
eritrosit. Setelah eritrosit yang berparasit pecah akan timbul gejala
penyakitnya kembali.14
II.1.5 Perkembangan vaksin
malaria
Vaksin untuk malaria masih
dikembangkan, sejauh ini belum terdapat vaksin yang efektif.3 Berikut
akan disampaikan beberapa pencapaian dalam pengembangan vaksin malaria.
Penentuan situs antigenik sel T
manusia penting untuk perkembangan vaksin subunit dari suatu imunogen peptida
jika tujuannya adalah memungkinkan boosting antibodi selama infeksi atau
menstimulasi imunitas sel T yang tidak tergantung antibodi. Tiga domain
imunodominan telah ditentukan lokasinya diluar daerah pengulangan oleh Good dkk.
Domain ini, muncul pada regio polimorfik molekul, menunjukkan bahwa mutasi dan
seleksi parasit telah terjadi sebagai respon pada tekanan imun dari sel T,
namun polimorfisme ini dapat menjadi hambatan dalam perkembangan vaksin.18
Calvo-Calle dkk. menemukan bahwa
kemampuan vaksin peptida malaria akan meningkat dengan penambahan epitop sel T
universal yang diturunkan dari parasit untuk meyakinkan bahwa semua orang yang
menerima vaksin mengembangkan imunitas humoral dan selular yang
spesifik-parasit. Dua protein circumcporozoite (CS) epitop sel T, yang
sebelumnya teridentifikasi oleh klon sel T CD4+ yang diturunkan dari relawan
yang terimunisasi sporozoit Plasmodium falciparum, diteliti untuk
menentukan potensial ikatan HLA kelas II mereka. Epitop pertama, terletak pada
asam amino 326-345 dari protein CS Plasmodium falciparum (strain NF54),
bersifat “universal” dimana mampu berikatan dengan banyak molekul DR dan DQ in
vitro. Sebaliknya, epitop kedua, T1, yang terletak pada daerah pengulangan dari
CS, dikenali oleh sel T dan tidak berikatan dengan afinitas tinggi dengan
molekul MHC kelas II manapun yang digunakan dalam tes ikatan peptida. Pola
interaksi peptida/HLA in vitro berkorelasi dengan imunogenisitas in vivo.19
Liver-stage antigen 1 (LSA1)
adalah salah satu antigen pre-eritrositik yang dipertimbangkan dalam subunit
multiantigen dari vaksin untuk malaria falciparum. Penelitian Connelly dkk.
mengamati proliferasi sel T dan respon sitokin pada peptida yang sesuai dengan
asam amino 84 hingga 107, 1813 hingga 1835, dan 1888 hingga 1909, dari LSA1
pada orang dewasa asimtomatik yang tinggal di Papua Nugini yang merupakan
daerah holoendemik malaria. Saat sel T dari orang Amerika Utara yang tidak
pernah terpajan malaria tidak berespon pada peptida manapun, 52 dari 55 subyek
dari daerah yang endemis malaria menunjukkan respon proliferasi yang nyata pada
satu atau lebih peptida LSA1. Respon IL-4 dan/atau IL-5 pada peptida LSA1 hanya
terdeteksi pada 18% subyek.20
Penelitian Nardin dkk. menunjukkan
imunogenisitas dari vaksin malaria polioksim sintetik yang dibuat dengan tepat
pada relawan dengan berbagai tipe HLA. Tujuh dari sepuluh relawan menghasilkan
kadar yang tinggi dari antibodi yang bereaksi dengan sirkumsporozoit dari
sporozoit Plasmodium falciparum.21
Adenovirus defektif-replikasi
rekombinan yang mengekspresikan gen CS dari Plasmodium berghei
(Ad-PbCS) ditemukan menginduksi respon sel T CD8+ yang kuat setelah imunisasi
intradermal atau intramuskular oleh Gilbert dkk. Vaksin adenoviral rekombinan
ini mampu meningkatkan respon sel T CD8+ hingga tingkat protektif dipicu baik
oleh vaksin DNA plasmid, vaksin partikel, maupun MVA rekombinan yang
masing-masing mengekspresikan epitop atau antigen yang sama.22
II.2 LIMFOSIT T
II.2.1 Definisi dan perkembangan
limfosit
Limfosit adalah salah satu jenis sel
darah putih dalam sistem imun vertebrata. Stem cell berdiferensiasi
menjadi beberapa jenis sel darah di dalam sumsum tulang, yang disebut sebagai
proses hematopoiesis. Limfosit berasal dari sel progenitor yang sama sebelum
berkembang menjadi limfosit yang berbeda-beda. Pembentukan limfosit disebut
sebagai limfopoiesis. Limfosit B akan tetap berada di sumsum tulang untuk
menjalani proses maturasi, sedangkan limfosit T akan bermigrasi ke timus untuk
menjalani proses maturasi. Setelah menjalani proses maturasi, limfosit akan
memasuki sirkulasi darah dan menuju organ limfoid (misalnya limpa dan
limfonodus).23
Selama maturasinya dalam timus,
limfosit T mulai mengekspresikan reseptor pengikat antigen unik pada
membrannya. Molekul reseptor adalah suatu heterodimer, tersusun dari dua rantai
protein, baik alfa dan beta (αβ) atau gamma dan delta (γδ), yang diikat oleh
ikatan disulfida. Ujung amino terminal dari dua rantai melipat bersama
membentuk celah pengikat antigen dari reseptor sel T. Reseptor sel T hanya
dapat mengenali antigen bila bersamaan dengan protein membran sel yang dikenal
sebagai major histocompatibility complex (MHC).24
Sel progenitor dari stem cell
hematopoietik berkembang di timus dan melakukan pembelahan sel hingga diperoleh
timosit imatur dalam jumlah besar. Pada awalnya timosit tidak mengekspresikan
CD4 ataupun CD8 (CD4- CD8-). dalam perkembangannya, mereka akan mengekspresikan
baik CD4 dan CD8 sekaligus (CD4+ CD8+), dan sebagai sel yang matur mereka hanya
akan menjadi timosit yang mengekspresikan salah satu dari CD4 atau CD8+ (CD4+
CD8- atau CD4+- CD8+) yang kemudian akan meninggalkan timus menjadi sel T
imunokompeten matur.25
II.2.2 Gambaran morfologis
Gambaran limfosit bila dilihat
dengan menggunakan mikroskop cahaya akan dapat ditemukan dalam dua kategori
utama, yaitu limfosit besar bergranula dan limfosit kecil.23 Limfosit
kecil merupakan sel yang sferis, garis tengah 6-8 um, 20-30% dari jumlah leukosit
yang berada pada darah tepi. Normalnya, inti relatif besar, bulat dengan
cekungan kecil pada satu sisi, kromatin inti padat, anak inti baru terlihat
dengan mikroskop elektron. Sitoplasma sedikit sekali, sedikit basofilik,
mengandung granula-granula azurofilik, yang berwarna ungu dengan pewarnaan Romanovsky
karena mengandung ribosom bebas dan poliribosom. Klasifikasi lainnya dari
limfosit terlihat dengan ditemuinya tanda-tanda molekuler khusus pada permukaan
membran sel-sel tersebut. Beberapa diantaranya membawa reseptor seperti
imunoglobulin yang mengikat antigen spesifik pada membrannya. Limfosit dalam
sirkulasi darah normal dapat berukuran 10-12um, ukuran yang lebih besar
disebabkan sitoplasmanya yang lebih banyak, kadang-kadang disebut dengan
limfosit sedang. Sel limfosit besar bergranula mudah ditemukan dalam kelenjar
getah bening dan dalam darah tepi pada keadaan patologis, pada sel limfosit
besar bergranula ini dapat ditemukan inti vesikular dengan anak inti yang
jelas.26
Limfosit normal pada darah tepi dengan
pewarnaan Wright akan tampak sebagai sel yang besar, dengan inti yang terpulas
gelap, dengan sangat sedikit sitoplasma yang basofilik. Pada kondisi normal,
inti sel limfosit akan tampak seukuran sel darah merah (diameter sekitar 7 um),
sehingga sering dipakai sebagai pembanding dalam klasifikasi anemia. Beberapa
limfosit menunjukkan zona perinuklear yang jernih (biasa disebut halo) di sekeliling inti sel atau
menunjukkan suatu zona jernih yang kecil pada salah satu sisi inti selnya.
Poliribosom adalah ciri yang menonjol dari limfosit dan dapat dilihat dengan
menggunakan mikroskop elektron. Ribosom terlibat dalam sintesis protein yang
memungkinkan pembentukan sitokin dan imunoglobulin dalam jumlah banyak oleh sel
ini.23
II.2.3 Pembagian fungsional
Terdapat tiga jenis utama dari
limfosit yaitu limfosit T, limfosit B, dan sel natural killer (NK cells). Hampir semua limfosit besar
adalah sel natural killer. Limfosit kecil adalah limfosit T dan limfosit
B. Sel NK adalah bagian dari sistem imun non spesifik dan memiliki peran
penting dalam mempertahankan tubuh dari tumor dan sel yang terinfeksi virus. Limfosit
T dan limfosit B adalah komponen selular utama dari sistem imun spesifik.
Limfosit T terlibat dalam imunitas selular, sedangkan limfosit B terutama
bertanggung jawab atas imunitas humoral yang berkaitan dengan antibodi. Fungsi
limfosit T dan limfosit B adalah untuk mengenali antigen “non-self”,
melalui proses yang disebut sebagai penyajian antigen (antigen-presenting).23
Berdasarkan sifat-sifat
fungsionalnya, limfosit kecil digolongkan dalam dua kelompok besar disebut
limfosit B dan limfosit T (atau sel B dan sel T). Dalam kehidupan pasca-natal,
limfosit B berkembang dalam jaringan mieloid sementara limfosit T berkembang
dalam timus. Meskipun demikian penampilan mikroskopiknya serupa, sehingga
diperlukan cara lain untuk membedakannya (Tabel I).28
Terdapat dua subpopulasi utama
limfosit T: limfosit T helper (Th) dan limfosit T sitotoksik (Tc),
keduanya dapat dibedakan berdasarkan adanya glikoprotein membran CD4 pada sel T
helper (sehingga sering disebut juga sebagai sel T CD4+) dan adanya
glikoprotein membran CD8 pada sel T sitotoksik (sehingga sering disebut juga
sel T CD8+). Untuk dapat mengenali suatu kompleks antigen-MHC, sel
Th menginduksi berbagai faktor pertumbuhan yang secara kolektif dikenal sebagai
sitokin yang secara lebih khusus bisa disebut limfokin. Bila sel T teraktivasi,
ia akan menjadi sel efektor yang menyekresikan bermacam sitokin yang memainkan
peranan penting dalam aktivasi sel B, sel Tc, makrofag, dan sel-sel lain yang
berpartisipasi dalam respon imun.24
Tabel I. Beberapa ciri khas kedua jenis utama limfosit darah tepi
|
Limfosit B
|
Limfosit T
|
Determinan
Permukaan Khas
|
Imunoglobulin
(membran) permukaan (sIg)
|
Ada
|
Tidak ada
|
Reseptor C3
|
Ada
|
Tidak terdapat
dalam subset tertentu
|
Reseptor Fc
|
Ada
|
Tidak terdapat
dalam subset tertentu
|
Reseptor eritrosit
domba
|
Tidak ada
|
Ada
|
Antigen Thy 1
(tikus)
|
Tidak ada
|
Ada
|
Antigen T (OKT)
(manusia)
|
Tidak ada
|
Ada
|
Respon
Mitogenik Preferensial
|
Lipopolisakarida
bakteri (LPS)
|
Ya
|
Tidak
|
Concavalin A
(Con A)
|
Tidak
|
Ya
|
Sumber:
Cormack D.28
II.2.4 Aktivasi limfosit T
Meskipun mekanisme spesifik dari
aktivasi agak berbeda pada jenis-jenis sel T yang berbeda, “model dua sinyal”
pada sel T CD4+ dapat mewakili mekanisme aktivasi sel T secara umum. Aktivasi
sel T CD4+ terjadi saat perlekatan kedua reseptor sel T dan CD28 pada sel
T dengan peptida major
histocompatibility complex (MHC) dan CD80 pada APC. Baik reseptor sel T
maupun CD28 keduanya dibutuhkan untuk memberikan respon imun yang efektif;
tanpa adanya ko-stimulasi CD28, sinyal yang dihasilkan oleh reseptor sel T saja
hanya akan memicu anergi. Pelepasan sinyal dari CD28 dan reseptor sel T
melibatkan banyak protein.29
Sinyal pertama dilepaskan oleh
ikatan reseptor sel T pada peptida pendek dari major histocompatibility
complex pada sel lain. Hal ini memastikan bahwa hanya sel T dengan reseptor
sel T yang spesifik terhadap peptida tersebut sajalah yang teraktivasi. Sel
lain yang memiliki major histocompatibility complex biasanya berupa antigen
presenting cell (APC) profesional yaitu sel dendritik, limfosit B, maupun
makrofag.25 Sel T tergolong antigen presenting cells yang
‘non-professional’, yaitu yang dapat mengespresikan MHC kelas II pada keadaan
tertentu, karena mayoritas dari sel T yang bersirkulasi pada individu yang
sehat jarang mengekspresikan MHC kelas II, namun dapat mengekspresikan HLA-DR,
HLA-DP, dan HLA-DQ setelah teraktivasi.29 Penelitian Xiang dkk.
menunjukkan bahwa sel T CD4+ dapat memperoleh molekul MHC kelas II, CD 54, dan
CD80 dari APC melalui stimulasi oleh APC tersebut. Lebih lanjut terdapat bukti
yang jelas yang menjadi dasar aspek praktis sel T CD4+ dalam peranannya sebagai
APC pada respon sel T CD8+ yang efektif baik in vitro maupun in vivo.30
Peptida yang disajikan pada sel T CD8+ oleh molekul MHC kelas I adalah
sepanjang 8-9 asam amino; peptida yang disajikan pada sel T CD4+ oleh molekul
MHC kelas II lebih panjang.25
Sinyal kedua dilepaskan dari
ko-stimulasi, dimana reseptor permukaan pada APC terinduksi oleh stimulus dalam
jumlah yang relatif sedikit, umumnya produk yang dihasilkan patogen, namun
dapat juga berupa produk dari sel yang rusak. Reseptor ko-stimulasi yang
terdapat pada sel T naif hanyalah CD28, sehingga ko-stimulasi untuk sel ini
berasal dari protein CD80 dan CD86 pada APC. Reseptor lain diekspresikan
setelah aktivasi sel T, seperti OX40 dan ICOS, namun untuk mengekspresikannya
sangat tergantung pada CD28. Sinyal kedua akan memberikan ijin kepada sel T
untuk berespon terhadap suatu antigen. Tanpa adanya sinyal kedua, sel T akan
menjadi anergik dan menjadi lebih sulit untuk diaktivasi pada waktu mendatang.
Mekanisme ini mencegah respon yang tidak perlu pada tubuh.25
II.3 PERAN LIMFOSIT T PADA
INFEKSI MALARIA
Sel T helper dalam fungsinya sebagai
pengatur membantu produksi antibodi antiplasmodium bekerja melalui mekanisme
berikut. Protein plasmodium seperti Pf 155/RESA, MSA-2 memacu respon limfosit B
dengan perantaraan sel T helper terutama subset Th-2. Epitop-epitop dari
antigen parasit ini akan berikatan dengan reseptor limfosit B yang berupa
membran imunoglobulin (mIg) untuk selanjutnya sebagai sel penyaji antigen akan
berikatan dengan limfosit T melalui reseptor sel T. Selanjutnya sel T akan
berdiferensiasi menjadi sel Th-2 yang akan menghasilkan sitokin IL-4 dan IL-5
yang kemudian akan memacu produksi Ig G1, Ig G4 dan Ig G3, serta Ig E. Beberapa
Ig G1 dan Ig G3 akan berikatan dengan reseptor Fcγ pada makrofag yang akan
meningkatkan kemampuan fagositosisnya terhadap eritrosit yang terinfeksi
parasit. Secara umum dikatakan Th-2 berperan dalam produksi antibodi dengan
memberikan spesifisitas bagi antibodi tersebut.12 Namun sel T tidak
tergantung pada antibodi untuk dapat mengontrol parasitemia.31
Peran sentral dari sel T CD4+ pada
imunitas protektif pada infeksi malaria stadium darah telah ditunjukkan baik
pada penelitian pada tikus maupun manusia. Imunitas alami untuk malaria
berkembang dengan sangat lambat, meskipun sel T CD4+ memiliki potensi yang
sangat besar untuk memberikan imunitas protektif.31
Sel T sebagai pengatur yang
mengaktifkan sel T sitotoksik, makrofag, fagosit lain melalui subset Th-1.
Subset Th-1 melalui sekresi IFN dan TNF akan mengaktifkan imunitas seluler yang
dilakukan oleh makrofag, monosit, lekosit. Fagosit-fagosit ini akan
menghasilkan radikal bebas seperti nitrid oksid (NO), hidrogen peroksida (H2O2),
O2 singlet, OH-, yang akan menghambat pertumbuhan dan degenerasi
parasit melalui stress oksidan.32 Th-1 juga mengaktifkan sel NK
melalui mekanisme ADCC. Disimpulkan subset Th-1 akan mengaktifkan mekanisme
imunitas seluler baik spesifik maupun non-spesifik untuk membunuh plasmodium
intraeritrosit.12
Peranan efektor langsung berupa
fagositosis dilakukan oleh sel CD 8+ (sel T sitotoksik). Sel ini terutama
melindungi infeksi pada stadium hepatosit, bekerja melalui dua cara yaitu
secara tidak langsung dengan mensekresi IFN-γ yang menghambat pembiakan parasit
di dalam hepatosit, dan secara langsung dengan merusak hepatosit yang
terinfeksi. Sel ini untuk bekerjanya harus mengenali molekul MHC kelas I yang
terdapat pada permukaan hepatosit, sebaliknya berhubung molekul ini tidak
terdapat pada permukaan eritrosit yang terinfeksi parasit maka sel T CD 8+ ini
tidak dapat bekerja pada stadium darah, hal ini berlawanan dengan sel T CD 4+.12
Penelitian Xu dkk. menunjukkan bahwa
delesi apoptotik pada sel T CD4+ yang spesifik parasit adalah sesuatu yang
lazim ditemui setelah terkena infeksi oleh beberapa jenis parasit malaria.
Mungkin hal ini adalah strategi yang digunakan oleh parasit malaria untuk
mengeliminasi sel T dan melemahkan pertahanan tubuh yang dapat mencegah
perluasan infeksi. Penekanan dari penelitian ini adalah deplesi pada malaria
hanya terbatas pada sel T yang spesifik parasit. Setidaknya pada jangka pendek,
hanya sel T yang spesifik parasit yang mengalami deplesi segera setelah mereka
berikatan antigen parasit yang spesifik pada mereka.31
Nasib sel T in vivo sedang diteliti
secara intensif oleh para peneliti. Selama respon imun dapat ditemukan sejumlah
besar sel T efektor yang teraktivasi. Kebanyakan dari sel ini akan segera
dieliminasi melalui mekanisme apoptosis. Keseimbangan antara sel yang masih
tersisa dengan apoptosis dari sel imun selama infeksi adalah hal yang sangat
penting karena dapat mempengaruhi pembentukan sel T baru dan dapat
menyingkirkan kelebihan sel T yang teraktivasi. Pada sisi lain, apoptosis dapat
diinduksi oleh organisme infektif untuk mempertahankan kelangsungan hidup
organisme infektif tersebut.31
Masalah penting lain adalah tentang
peran mana yang lebih menonjol dari Th-1 atau Th-2 yang penting bagi
perlindungan terhadap plasmodium, berhubung satu subset akan mendominasi subset
lainnya karena sitokin yang dihasilkan oleh satu subset akan menghambat
pertumbuhan subset lainnya. Diduga sitokin yang dihasilkan pada awal respon
imun akan mempengaruhi jenis/asal dari respon sel T dan terutama diferensiasi
sel T CD 4+ menjadi subset Th-1 dan Th-2. Dalam proses ini mungkin limpa memegang
peranan penting mengingat disinilah tempat berbagai mekanisme efektor
antiplasmodium baik produksi antibodi, fagositosis ataupun sitotoksik
dihasilkan, serta mungkin pula induksi atau seleksi produksi sitokin-sitokin
kunci sesuai pola sitokin Th-1 atau Th-2. Masalah penting lain adalah
mengidentifikasi determinan antigenik parasit yang memacu produksi awal
sitokin-sitokin kunci. Imunitas seluler melalui aktifitas limfosit Th-1 lebih
dominan pada stadium eritrosit, sedang aktivitas Th-2 yang berkaitan dengan
imunitas humoral lebih efektif memerangi infeksi pada stadium lainnya. Meskipun
demikian masalah peran yang lebih dominan antara Th-1 atau Th-2 dalam memerangi
plasmodium tetap belum jelas, karena pada binatang percobaan yang diinfeksi
dengan Plasmodium chaubaudi kedua subset tersebut berperan bersama
melawan infeksi malaria pada stadium eritrosit. Hasil penelitian pada binatang
percobaan menunjukkan bahwa Th-1 berperan penting pada infeksi awal (primer),
sedang Th-2 lebih dominan pada infeksi kronis. Selain itu Fell dan Smith
mengajukan dua hipotesis mengenai imunitas pada stadium eritrosit: pada
hipotesis pertama sel Th-1 berperan pada infeksi awal/stadium parasitemia akut
dengan mengaktifkan makrofag dan leukosit PMN. Untuk menghasilkan mediator
seperti NO yang akan membunuh parasit, selanjutnya Th-2 akan aktif memacu
produksi antibodi spesifik yang akan membersihkan parasit (model “Th-1 -to-
Th-2”); hipotesa kedua menyatakan bahwa pada infeksi awal dihadapi oleh
respon imun nonspesifik (innate) terutama makrofag, leukosit PMN, limpa,
melalui fagositosis atau sekresi sitokin TNF atau mediator oksidan seperti NO
dan O2 radikal, yang akan membatasi pertumbuhan parasit, dan selanjutnya sel
Th-2 akan mengaktifkan sel B untuk menghasilkan antibodi spesifik yang akan
membersihkan parasit (model “innate-to-Th-2”), sedang sel Th-1 tidak
berperan aktif diduga karena tidak mampu mengatasi infeksi parasit intraseluler
yang meluas.12
Limfosit T berdasarkan jenis
reseptor sel T-nya dibagi menjadi sel Tαβ (alfa beta) dan sel Tγδ (gamma delta).
Pada malaria diduga yang banyak berperan dalam penyembuhan pada stadium
eritrosit adalah sel Tαβ, namun mungkin sel Tγδ juga berperan protektif dengan
merusak merozoit ekstraseluler.12 Reseptor sel T gamma delta
normalnya diekspresikan oleh sebagian kecil limfosit yang beredar dalam darah.
Meskipun peranan sel T gamma delta pada respon imun fisiologis masih belum
diketahui, terdapat banyak bukti bahwa sel T gamma delta mungkin berperan pada
respon imun pada mycobacterium atau organisme infektif lainnya. Hasil
penelitian Ho dkk. mengindikasikan bahwa jumlah sel T gamma delta mengalami
peningkatan selama infeksi akut Plasmodium falciparum dan tetap tinggi
hingga setidaknya empat minggu selama masa penyembuhan. Sel T gamma delta
mungkin berpartisipasi pada respon imun melawan Plasmodium falciparum
dengan berperan sebagai sel sitotoksik melawan parasit intraeritrosit. Selain
itu, limfokin mungkin diproduksi pada saat terdapat stimulasi antigen yang
mungkin memiliki aktivitas antiparasit.33
BAB III
PEMBAHASAN
Malaria telah menjadi salah satu
penyakit infeksi tertua yang memiliki penyebaran cukup luas di daerah beriklim
tropis. Saat ini pun malaria masih menyebabkan angka kematian yang tinggi
(sekitar tiga juta kematian per tahun di seluruh dunia) dan memiliki
kecenderungan untuk terus meningkat. Salah satu upaya pencegahan yang bisa
dilakukan pada penyakit infeksi yang mematikan adalah pemberian vaksin, namun
hingga kini belum ditemukan vaksin yang efektif untuk mencegah infeksi malaria,
sehingga vaksinasi bukanlah sarana pencegahan terbaik untuk saat ini.
Malaria sebagai suatu infeksi oleh
organisme parasit berupa plasmodium tentu akan memicu aktivitas sistem imun
manusia. Sistem imun manusia terdiri atas komponen selular dan humoral,
sehingga infeksi malaria akan melibatkan baik imunitas selular maupun imunitas
humoral. Salah satu sel yang berperan dalam imunitas selular adalah limfosit.
Limfosit dalam perkembangannya akan terbagi dalam dua golongan besar yaitu
limfosit B yang mengalami proses maturasi di sumsum tulang, serta limfosit T
yang mengalami proses maturasi di timus.
Limfosit T akan mengekspresikan
reseptor pengikat antigen dan penanda tertentu pada membrannya selama proses
maturasi di timus. Molekul reseptor adalah heterodimer yang tersusun dari dua
rantai, bisa berupa rantai alfa dan beta maupun rantai gamma dan delta.
Glikoprotein pada membran limfosit T menjadi dasar pembagian subpopulasi
limfosit T, sel yang mengekspresikan molekul CD4 (sel T CD4+) dikelompokkan
sebagai subpopulasi T helper (Th), sedangkan sel yang mengekspresikan
molekul CD8 (sel T CD8+) dikelompokkan sebagai subpopulasi T sitotoksik (Tc).
Aktivasi limfosit T melibatkan sel
penyaji antigen (antigen presenting cell, APC) untuk dapat mengenali
suatu antigen, meskipun limfosit T sendiri juga mampu berperan sebagai APC
untuk suatu antigen yang sudah dikenal sebelumnya. Aktivasi limfosit T umumnya
melibatkan dua sinyal dari suatu major histocompatibility complex (MHC)
dan ko-stimulasi dari reseptor pada APC.
Limfosit T helper terutama
memiliki peran membantu produksi antibodi dan mengaktifkan fungsi sel-sel lain
dalam sistem imun. Sel T helper berdasarkan
jenis sitokin yang dihasilkan dibagi lagi menjadi subset Th-1 (menghasilkan
sitokin IFN-γ dan TNF-α) yang akan mengaktifkan imunitas selular, dan subset
Th-2 (menghasilkan sitokin IL-4, IL-5, IL-6, IL-10) yang akan mengaktifkan
imunitas humoral.
Subset Th-1 melalui sekresi IFN dan
TNF akan mengaktifkan imunitas seluler baik spesifik maupun non spesifik untuk
membunuh plasmodium dalam stadium intraeritrosit. Subset Th-2 akan membantu
produksi antibodi antiplasmodium oleh limfosit B dengan menghasilkan interleukin-interleukin
yang akan memacu produksi Ig G dan Ig E. Ig G akan berikatan dengan reseptor
makrofag yang akan meningkatkan kemampuan fagositosisnya terhadap eritrosit
yang terinfeksi parasit. Subset Th-1 berperan penting pada infeksi awal
(primer), sedang Th-2 lebih dominan pada infeksi kronis.
Limfosit T sitotoksik memiliki peran
sebagai efektor langsung dalam fagositosis hepatosit yang terinfeksi, namun
juga berperan secara tidak langsung dengan mensekresi IFN-γ yang menghambat
pembiakan parasit di dalam hepatosit. Limfosit T sitotoksik harus mengenali
molekul MHC kelas I yang terdapat pada permukaan hepatosit untuk dapat
menjalankan perannya dengan baik, namun karena sel darah merah tidak
mengekspresikan molekul MHC kelas I maka sel ini tidak memiliki peran dalam
mengatasi infeksi malaria pada stadium intraeritrosit.
BAB IV
PENUTUP
IV.1 SIMPULAN
Peran limfosit T dalam melawan
infeksi malaria terutama sebagai pengatur (regulator) yang dilakukan oleh
limfosit T helper (CD 4+) yaitu membantu produksi antibodi dan mengaktifkan
fungsi fagosit-fagosit lainnya, serta peran sebagai efektor langsung berupa
fagositosis dilakukan oleh populasi limfosit T sitotoksik (CD 8+). Limfosit T
helper terutama melalui subset Th-1 berperan mengatasi infeksi malaria dalam
stadium intraeritrosit, sedangkan limfosit T sitotoksik terutama berperan
mengatasi infeksi malaria dalam stadium eksoeritrosit pada hati.
IV.2 SARAN
1.
Perlu dilakukan penelitian lebih
mendalam untuk lebih memahami peran limfosit T pada infeksi malaria.
2.
Perlu dilakukan penelitian
mengenai peran masing-masing komponen sistem imun dalam mengatasi infeksi
malaria agar dapat memahami respon imun tubuh pada infeksi malaria secara
menyeluruh.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Joy D, Feng X, Mu J, et al. Early
origin and recent expansion of Plasmodium falciparum. Science, 2003, 300:
318-21. Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?cmd=Retrieve&db=pubmed&dopt=AbstractPlus&list_uids=12690197
[Cited on August 6, 2007]
2.
Cox F. History of Human
Parasitology. Clin Microbiol Rev, 2002, 15: 595-612. Available at http://www.pubmedcentral.nih.gov/article
render.fcgi?tool=pubmed&pubmedid=12364371 [Cited on August 6, 2007]
3.
Wikipedia. Malaria. Available at http://en.wikipedia.org/wiki/Malaria
[Cited on May 15,2007]
4.
Anonim. Alphonse Laveran: The Nobel Prize in Physiology or
Medicine 1907. Available at http://nobelprize.org/nobel_prizes/medicine
/laureates/1907/laveran-bio.html [Cited on August 6, 2007]
5.
Enersen O. Ettore Marchiafava.
Available at http://www.whonamedit.com/ doctor.cfm/2478.html [Cited on August
6, 2007]
6. Anonim. Ronald Ross: The
Nobel Prize in Physiology or Medicine 1902. Available at http://nobelprize.org/nobel_prizes/medicine/laureates
/1902/ross-bio.html [Cited on August 6, 2007]
7.
Krotoski W, Collins W, Bray, et
al. Demonstration of hypnozoites in sporozoite-transmitted Plasmodium vivax
infection. Am J Trop Med Hyg, 1982, 31: 1291-3. Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov
/sites/entrez?cmd=Retrieve&db=pubmed&dopt=AbstractPlus&list_uids=6816080
[Cited on August 6, 2007]
8.
Meis J, Verhave J, Jap P, Sinden
R, Meuwissen J. Malaria parasites--discovery of the early liver form. Nature,
1983, 302: 424-6. Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?cmd=Retrieve&db=pub
med&dopt=AbstractPlus&list_uids=6339945 [Cited on August 6, 2007]
9.
TDR. Malaria. Available at http://www.who.int/tdr/diseases/malaria/
diseaseinfo.htm [Cited on May 15, 2007]
10.
Globalis Indonesia. Indonesia:
Malaria Cases. Available at http://globalis.gvu.unu.edu/indicator_detail.cfm?IndicatorID=74&Country=ID
[Cited on May 23, 2007]
11.
WHO. Malaria Epidemics/Outbreaks
in SEA Region. Available at
http://www.searo.who.int/en/Section10/Section21/Section1987.htm [Cited on May
23, 2007]
12.
Nugroho A, Harijanto P, Datau E.
Imunologi pada Malaria. In: Harijanto PN, editor. Malaria. Epidemiologi,
Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penanganan. Jakarta: EGC; 2000: 128-50
13.
Nugroho A, Wagey M. Siklus Hidup
Plasmodium Malaria. In: Harijanto PN, editor. Malaria. Epidemiologi,
Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penanganan. Jakarta: EGC; 2000: 38-53
14.
Anonim. Malaria. Available at http://www.infeksi.com/articles.php?
lng=in&pg=46 [Cited on July 26, 2007]
15.
Dinas Kesehatan DKI Jakarta.
Malaria. Available at http://www.dinkes-dki.go.id/penyakit.html
[Cited on July 26, 2007]
16.
Pribadi W. Parasit Malaria. In:
Gandahusada S, Ilahude H, Pribadi W, editor. Parasitologi Kedokteran. Edisi
ketiga. Jakarta: FKUI; 2003: 171-85
17.
Eichner M. Malaria life cycle.
Available at www.uni-tuebingen.de/modeling/Mod_Malaria_Intro_en.html
[Cited on July 26, 2007]
18.
Good M, Pombo D, Quakyi I, et al.
Human T-Cell Recognition of the Circumsporozoite Protein of Plasmodium
falciparum: Immunodominant T-Cell Domains Map to the Polymorphic Regions of the
Molecule. PNAS, 1988, 85: 1199-1203. Available at http://www.pnas.org/cgi/content/abstract/85/4/1199
[Cited on May 9, 2007]
19.
Calvo-Calle J, Hammer J,
Sinigaglia F, Clavijo P, Moya-Castro Z, Nardin E. Binding of malaria T cell
epitopes to DR and DQ molecules in vitro correlates with immunogenicity in
vivo: identification of a universal T cell epitope in the Plasmodium falciparum
circumsporozoite protein. J Immunol, 1997, 159: 1362-73. Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retrieve&db
=PubMed&list_uids=9233633&dopt=Citation [Cited on May 9, 2007]
20.
Connelly M, King C, Bucci K, et
al. T-cell immunity to peptide epitopes of liver-stage antigen 1 in an area of
Papua New Guinea in which malaria is holoendemic. Infect Immun, 1997, 65:
5082-7. Available at http://iai.asm.org/cgi/content/abstract/65/12/5082 [Cited
on May 9, 2007]
21.
Nardin E, Calvo-Calle J, Oliveira
G, et al. A Totally Synthetic Polyoxime Malaria Vaccine Containing Plasmodium
falciparum B Cell and Universal T Cell Epitopes Elicits Immune Responses in
Volunteers of Diverse HLA Types. J Immunol, 2001, 166: 481-489. Available at http://jimmunol.highwire.org/cgi/content/abstract/166/1/481
[Cited on May 9, 2007]
22.
Gilbert S, Schneider J, Hannan C,
et al. Enhanced CD8 T cell immunogenicity and protective efficacy in a mouse
malaria model using a recombinant adenoviral vaccine in heterologous
prime-boost immunisation regimes. Vaccine, 2002, 20: 1039-45. Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retrieve&db=PubMed&list_uids=11803063&dopt=Abstract
[Cited on May 9, 2007]
23.
Wikipedia. Lymphocyte. Available
at http://en.wikipedia.org/wiki/ Lymphocyte [Cited on August 6, 2007]
24.
Tambajong E. Imunopatologi.
Pemahaman Dasar. Manado: FK Unsrat; 2001: 22-3
25.
Wikipedia. T cell. Available at
http://en.wikipedia.org/wiki/T_cells [Cited on August 6, 2007]
26.
Effendi Z. Peranan Leukosit sebagai
Anti Inflamasi Alergik dalam Tubuh. Medan: FK USU; 2003. Available at http://library.usu.ac.id/
modules.php?op=modload&name=Downloads&file=index&req=getit&lid=503
[Cited on July 26, 2007]
27.
NHC Biology. Lymphocyte. Available
at http://science.nhmccd.edu/
biol/cardio/lymphocyte.jpg [Cited on August 10, 2007]
28.
Cormack D. Buku Teks Ham
Histologi. Jakarta: Binarupa Aksara; 1994: 271-4, 305-11
29.
Pichler W, Wyss-Coray T. T Cell as
Antigen-presenting Cells. Immunology Today, 1994, 15: 312-5
30.
Xiang J, Huang H, Liu Y. A New
Dynamic Model of CD8+ Effector Cell Responses via CD4+ T
Helper-Antigen-presenting Cells. The Journal of Immunology, 2005, 174: 7497-505
31.
Xu H, Wipasa J, Yan H, et al. The
Mechanism and Significance of Deletion of T Parasite-specific CD4+ Cells in
Malaria Infection. J Exp Med 2002, 195: 881-892
32.
Wozencraft A, Dockrell H, Taverne
J, et al. Killing of Human Malaria Parasites by Macrophage Secretory Products. Infect
Immun, 1984, 43: 664-669
33.
Ho M, Webster H, Tongtawe P,
Pattanapanyasat K, Weidanz W. Increased gamma delta T cells in acute Plasmodium
falciparum malaria. Immunol Lett, 1990, 25: 139-41. Available at http://www. ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retrieve&db=PubMed&list_uids=2149360&dopt=Citation
[Cited on May 9, 2007]